Senin, 30 Juli 2012

kisah parta



Kisah Parta

Parta namanya. Ia adalah seorang guru  yang terkenal sangat disiplin. Parta menjunnjung tinggi hukum dimanapun ia berada, karna sebuah keyakinan hidup akan lebih baik jika semua orang menaati hukum, maka ia pun memulai dari dirinya sendiri terlebih dahulu. Keyakinannya  itu muncul setelah peristiwa kehilangan ayahnya waktu ia SMP. Ayahnya meninggal pada kecelakaan lalu lintas karna ayahnya nekad menerobos lampu merah. Ia sangat terpukul dan menjadikan peristiwa itu sebuah pelajaran berharga baginya.  Sejak kejadian itu, Parta berjanji pada dirinya sendiri untuk menaati peraturan apapun, dia yakin dengan menaati peraturan hidup akan lebih baik dan aman. Keyakinannya pun tak pernah luntur sampai ia dewasa dan berkeluarga.
 Pada suatu siang yang panas di kantor guru sekolah  tempat Parta mengajar. Parta sedang sibuk mengkoreksi tugas-tugas siswanya didatangi oleh Pak Tarman, kepala sekolah SD tersebut.
 Pak Parta ini ada pembagian uang lelah, ini bagian bapak. Kata Pak Tarman  dengan nada suara yang pelan hampir berbisik, sambil menyodorkan amplop.
Pak Tarman, saya tahu ini bukan hak saya,  juga bukan hak bapak, ini melanggar hukum pak, kata Parta dengan nada tegas sambil menyodorkan kembali amplop tersebut.
Oalah pak... Kata Pak Tarman sambil kembali menyodorkan amplop.
Pak, saya tidak akan menerima uang ini dengan alasan apapun, dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada bapak, saya akan melaporkan hal ini kepada penegak hukum jika hal semacam ini tetap dilakukan. Kata Parta dengan tegas dan tenang. Wajah Tarman menjadi kecut dan takut. Kemudian Parta meninggalkan Tarman dan menuju ke Mushola untuk menunaikan sholat.
Setelah menunaikan Sholat Parta panjatkan doa pada Tuhan, dia meminta perlindungan pada Tuhan agar dijauhkan dari larangan-Nya dan memohon kekuatan padaNya untuk mengadapi berbagai godaan seperti yang baru saja ia alami. Di tengah doanya tiba-tiba ia teringat sebuah malam,  kejadian pertengkaran dengan Larsi istrinya di rumahnya.
 Mas, coba lihat tetangga kita Pak Agus, dia guru seperti kamu mas, tapi dia lebih kaya dari kamu mas, Pak Agus bisa beli mobil.
Mungkin Pak Agus punya usaha lain dek.
Bukan karna Pak Agus punya usaha lain tapi karna Pak Agus luwes mas.
Luwes maksudmu?
Dia luwes, tidak seperti kamu mas sok suci !!
Maksud kamu?
Iya,,apa salahnya sih ngambil keuntungan kecil kalo ada proyek disekolahan mas
Oooh,,jadi yang kamu maksud luwes itu seperti itu. Itu bukan luwes, itu melanggar hukum !!
Apakah mati to mas kalo melanggar hukum sekali-kali, toh itu buat kebaikan keluarga !!
Kebaikan keluarga katamu?? Aku lebih baik mati daripada menyaksikan keluargaku kuberi makan dengan uang haram !!
TEEEEEEEENGGGG…….TTEEEEEEEEEEEENGGGG..TEEEEEEEEEEEENG
Suara bel tiga kali tanda jam istirahat habis menyadarkan Parta dari lamunanya. Kata istigfar pun segera terucap berkali-kali dari mulutnya sesaat setelah ia tersadar dari lamunan dan  kemudian ia usapkan kedua tangannya pada wajah sebagai penutup dialognya dengan Tuhan siang itu lalu bergegas menuju ke kelas untuk mengajar, menunaikan kewajibannya sebagai guru.
Tak pernah Parta mampu membuktikan pada orang lain bahkan istrinya tentang apa yang ia yakini adalah kehidupan yang paling baik. Dimana kita hidup akan selalu ada peraturan yang mencoba menjadikan kehidupan lebih baik. Parta lebih memilih diam dan memberi contoh dengan laku dari pada ajakan lisan (dia tidak mau disebut nabi yang berkoar-koar di padang pasir). 
Malam dingin di jalanan yang sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat. Orang sering berkata : pada malam hari seperti itu peraturan lalu lintas sudah tidur,  lampu-lampu lalu lintas memang masih menyala, tetapi nyalanya hanya bagaikan igauan dalam tidur. Ya, tak akan ada orang yang peduli pada igauan, takkan ada yang peduli pada nyala merah, kuning ataupun hijau. Tetapi tidak dengan Parta. Dimana saja dan kapan saja (entah pagi, siang, atau malam) peraturan tak akan dia langgar.
Malam itu, Parta berboncengan dengan istrinya dengan sepeda motor tuanya yang masih komplit tak ada yang kurang sejak dibeli dari toko. Mereka baru saja pulang dari hajatan di tempat saudaranya. Karena masih saudara, mereka baru pulang setelah membantu beres-beres usai acara hajatan. Dalam perjalanan pulang mereka, jalanan sangat sepi, hanya ada beberapa kendaraan. Di depan mereka, terlihat lampu lalu lintas menyala merah. Parman mengurangi laju kendaraannya bersiap untuk berhenti.
Di dalam bus malam antar kota yang melaju cepat terdapat si Kardi sang sopir bus  ditemani Bejo keneknya dan ada beberapa penumpang yang sudah terlelap.
Ngantuk Kar?? Cari warung, ngopi aja dulu,, kata Bejo karna mengamati Kardi yang menguap berkali-kali.
Gak usah, nyetir sambil tidur aja aku bisa, hehehe,kata Kardi sambil nyengir.
Beneran ??, tanya Bejo lagi.
Iya !!! Kayak baru kemarin aja kamu jadi kenekku jojo.., ucap Kardi sedikit kesal dan langsung menambah kecepatannya.
Bus malam itu menikung dengan cepat dan di depan terlihat lampu lalu lintas menyala merah. Tanpa mengurangi kecepatan Bus terus melaju, karena malam yang sepi Kardi pun tak peduli, dia bermaksud menerjang lampu merah dan ia yakin motor di depannya pasti juga akan menerjang lampu merah.
Udah pak langsung aja, gak usah berhenti, udah malam gini kata istri Parta sambil menepuk punngung Parta
Parta mengerem motornya, apa kamu gak ingat kejadian meninggalnya bapak juga karna……. tiba terdengar bunyi klakson bus dan dencitan suara rem dari belakang Parta.
Aaaaaaaaaaaaaa !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! terdengar suara jeritan yang kemudian terhenti saat terdengar suara benturan yang keras. Bruuuuuuaaaakkkkkkk !!!!!!!!
Parta terpelanting, Istri Parta terseret bus dan baru terhenti setelah 10 meter.Setelah terpelanting Parta masih bisa melihat istrinya yang tak berdaya dengan darah di sekujur tubuhnya. Pikiran Parta melayang, muncul memori beberapa kejadian, kecelakaan ayahnya bertahun-tahun yang lalu, kemudian disusul memori saat Parta bertengkar dengan istrinya karna mempertahankan ideologinya dan muncul juga di angan setengah sadarnya beberapa kejadian saat Parta bersikukuh dengan pendiriannya yang tidak akan melanggar peraturan atau hukum.
Dalam keadaan setengah sadar dan pandangannya yang tertuju ke istrinya yang mulai mengabur terdengar suara-suara bergantian yang berada entah di otak, hati atau telinganya. Tetapi suara itu sangatlah jelas Pak, jamane jaman edan yen ra edan ora keduman……….., Apakah mati to mas kalo melanggar hukum sekali-kali, toh itu buat kebaikan keluarga !! Suara Pak Tarman dan istrinya terus terdengar bersahut-sahutan dan akhirnya semua menjadi gelap.
Polisi, petugas medis, wartawan dan warga segera berdatangan  di perempatan kejadian naas tersebut beberapa menit kemudian. Terlihat kesibukan yang bermacam-macam di tempat tersebut. Lampu lalu lintas masih tetap berdiri tegak dan masih menyala merahkuning.hijaukuningmerahdan seterusnya. Karna ia diciptakan hanya untuk menyala merah yang berarti  berhenti, kuning yang artinya hati-hati, dan hijau adalah jalan dan tidak diciptakan untuk berteriak marah ketika ada pengemudi yang tak mempedulikanya, tidak diprogram untuk berterima kasih kepada pengemudi yang taat padanya, dan tentu saja ia tidak bisa berduka atau menangis melihat Parta yang mungkin orang terakhir di negara ini yang menjunjung tinggi hokum, mati di depannya, atau bisa dikatakan karna menaatinya (mungkin kisah Parta akan berbeda, kalau ia memilih menerobos lampu merah). Hanya  merah, kuning, hijau, kuning, merah, kuning, dan seterusnya.

Biodata Penulis
Nama : Idham Ardi Nurcahyo
TTL : Sukoharjo, 11 Mei 1991
Alamat : Pabrik rt01/02, Wirun, Mojolaban, Sukoharjo
HP : 081904516818
E-Mail : i_182_damn@yahoo.com
Pendidikan : sedang menempuh S1 Sastra Indonesia di Universitas Sebelas Maret
Organisasi : aktif di Kelompok Kerja Teater Tesa


“mak…aku takut mak..dingin mak…bapak mana???”
“sabar ya nak,,bapak lagi cari duit”
“aku pengen pulang mak..”
“Argggggh” lagi-lagi mimpi ini menghampiriku, kutengok ke arah jam di meja samping tempat tidurku menunjukkan pukul tiga dini hari. Sama seperti kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi. Aku terbangun dari tidur karena mimpi yang sama pada jam yang sama, jam tiga dini hari. Mimpi yang tak mampu ku mengerti apa artinya dan aku tak mengenal siapa orang yang ada dalam mimpiku itu. Siapa ibu dan anak itu?? Aku sangat yakin aku tidak mengenalnya. Tapi kenapa mereka selalu hadir dalam mimpi malamku?? Kenapa selalu tepat jam tiga pagi aku terbangun dari mimpiku?? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat menyesakkan kepalaku beberapa hari ini. Aku  mencoba untuk tak peduli, namun ketidak pedulianku hanya mampu kuucap saja karna hatiku selalu bertanya padaku dan juga otakku yang selalu berpikir apa arti semua ini. “Oh Tuhan, aku terlalu bodoh untuk mengartikan ini semua”.
Di kantor, pikiranku masih saja dibayangi pertanyaan-pertanyaan tentang mimpi aneh beberapa malam belakangan ini. Wajah anak dan ibu dalam mimpi itu benar-benar terekam jelas olehku.
 “Pagi Ardi …” suara Pak Agus membuyarkan lamunanku di kursi direktur utama perusahaan besar ini. Pak Agus adalah manajer perusahaan yang almarhum ayah wariskan padaku ini. Semenjak ayah meninggal, aku menjadi pemimpin perusahaan ini. Pak Agus adalah orang kepercayaan ayah semasa ia memimpin perusahaan ini, dan seperti ayah juga, aku menjadikan Pak Agus kaki tangan dalam menjalankan bisnis perusahaan.
“Oh,,Pak Agus,,silahkan duduk pak.” Kataku sedikit terkaget.
 Pak Agus menutup pintu lalu tersenyum dan mendekat ke meja saya sambil membawa berkas-berkas laporan.
 “Karna ini sebuah prestasi besar perusahaan ini, saya membawa sendiri berkas laporan pembebasan lahan rencana pembangunan apartemen mewah di daerah Jalan Merah , silahkan ditanda tangani Ardi,” kata pak Agus dengan nada suara bangganya.
 Tanpa membaca berkas tersebut karna aku  malas, selain itu aku sangat percaya dengan Pak Agus, akupun menanda tanganinya.
Lalu Pak Agus menepuk pundakku dan berkata “ayah kamu pasti bangga!!” lalu ia permisi dan meninggalkan ruangan saya.
Setelah jam istirahat makan siang, aku memutuskan untuk pulang karna pikiranku benar-benar lelah. Aku ingin menenangkan diri di rumah. Dengan diantar sopir pribadi, mobilku keluar dari pintu gerbang perusahaan namun mobilku berhenti karna ada seorang ibu dengan menggendong anaknya lewat di depan mobilku. Sambil berjalan pandangannya menatap ke arah tulisan besar nama perusahaanku. Aku rasa aku mengenali wajah ibu itu. Tapi kapan? Dimana? Aku coba memutar otak dan menggali seluruh memori di dalamnya. Kemudian saat ibu itu mulai menyebrang jalan anak dalam gendongannya menatap ke arah mobilku dan jantungkupun serasa berhenti saat menatap wajah anak itu dan aku sangat yakin, yah !! mereka adalah orang-orang dalam mimpi anehku !!
“Berhenti pak !!!” teriakku kepada Kardi sopir pribadi saya. Tanpa peduli pertanyan Kardi aku  keluar dari mobil dan segera berjalan mengikuti  ibu dan anak itu. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan, otakku seperti mati,  tubuhku seperti terus bergerak sendiri.  Dengan berjalan hampir berlari, aku mulai mendekat ke arah ibu yang menggendong anak itu. Namun aku terhenti setelah  beberapa meter di belakang ibu itu. Tiba-tiba rasa takut dan ragu menghampiriku. Apa yang akan kukatakan padanya. Akhirnya kuputuskan saja mengikutinya.
Panas, debu, rasa haus tak menghentikan langkahku mengikuti ibu itu berjalan, Kuikuti ia berjalan di trotoar, menyebrang jalan, menyebrang rel, memasuki gang, terus kuikuit ia. Akhirnya aku sampai di sebuah gedung bekas terbakar, ibu itu pun masuk. Aku berhenti di depan gedung itu, apa yang harus kulakukan sekarang?
Setelah beberapa menit ku diam di depan gedung itu, akhirnya kuputuskan untuk masuk ke gedung itu. Aku sedikit terkejut melihat banyak sekali orang di dalam gedung itu. Tempat ini seperti pengungsian yang sering aku lihat dalam berita di TV dan merekapun sepertinya juga terkejut melihatku, mungkin karna penampilanku yang sangat berbeda dengan mereka, aku satu-satunya orang yang mengenakan jas di sini. Aku terus mencari dimana ibu itu berada dan akhirnya kutemukan dia sedang duduk beralaskan kardus dan anknya tertidur disampingnya. Seperti yang lainnya ibu itu juga menatap tajam ke arahku. Kulangkahkan kakiku menuju ibu itu namun langkahku terhenti saat ada seorang laki-laki berkata, “apa anda akan mengusir kami dari sini??”, dan orang itu berjalan kearahku.
“Tidak, aku hanya ingin bertemu ibu itu” lalu kulanjutkan langkahku menuju ibu itu. Ibu itu terlihat ketakutan dan segera mengangkat anaknya ke dalam pelukannya. “apa lagi salahku?”, ucap ibu itu. Setelah sampai didepan ibu itu akupun mengatur nafas lalu berjongkok di depan ibu itu.
“Apakah anda mengenal saya bu??”akhirnya aku mampu berkata
“Aaa..nnn..da siapa?”ucap ibu itu terbata-bata. Terlihat sekali bahwa ibu itu ketakutan.
“Nama saya Ardi bu, coba anda ingat-ingat.”ucapku sambil member senyum agar ibu itu tak takut padaku.
Ibu itu sesaat diam menatapku lalu memalingkan mukanya menatap ke atas dan kemudian mengeluarkan nafas panjang dan kemudian berkata, “entahlah, mungkin memang kita pernah bertemu dan saya lupa, karna semua kenangan saya rasanya telah terhapus oleh sebuah kenangan pahit lima hari yang lalu.
“Apa yang terjadi lima hari yang lalu?”tanyaku segera.
Tiba-tiba ibu itupun meneteskan air mata, ia tengok anaknya sebentar lalu menghadap kepadaku dan mulai bercerita, “namanya Ardi, saya sedikit terkaget tadi saat anda mengenalkan nama anda, tapi mungkin hanya kebetulan, umurnya lima tahun, dan bila nanti ia terbangun ia akan bertanya kapan bapaknya pulang, dan merengek minta pulang. Dan saya selalu menjawab dengan kebohongan karna saya tidak pernah sanggup menjelaskan padanya bahwa ayahnya takkan pulang lagi dan kami takkan bisa pulang ke rumah lagi.
“Apa yang terjadi pada ayahnya dan rumah anda?”aku semakin penasaran apa yang terjadi pada ibu itu.
Ibu itu menatapku lalu berkata, “lima hari lalu tepat jam tiga pagi rumah kami digusur dan suami saya meninggal saat itu karna mencoba melakukan perlawanan.”ibu tu kembali meneteskan air mata dan mempererat pelukan ke anaknya. Aku benar-benar terkejut mendengar cerita itu, jantungku berdetak sangat keras, keringat dingin terasa keluar dari tubuhku. Kepalaku serasa berputar cepat sekali. Jam tiga pagi?Apakah ini berkaitan dengan mimpiku? Apakah apa yang aku tanda tangani tadi di kantor adalah musibah ibu ini? Tapi aku mencoba menyangkal ini semua dengan bertanya, “dimana rumah ibu?”
“Di jalan Merah” jawabnya
  



buanglah sampah pada tempatnya


BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA
Kalian benar benar beruntung telah memilih meninggalkanku. Keputusan yang sangat tepat telah kalian ambil waktu itu. Ungkapan buanglah sampah pada tempatnya memang benar. Karena sampah ini semakin lama semakin busuk dan bau. Meninggalkan aku di sini adalah keputusan sisi logika bahwa hidup harus mencari kebahagiaan. Semakin hari aku semakin menjijikkan, beruntunglah kalian tidak menyimpanku lagi karena busukku akan meruang pada hari-hari kalian nantinya.
Dia telah meninggalkanku pada suatu hari dimana perasaanku tentangnya adalah di atas segalanya. Aku telah membutakan mataku dan menjadikan dia mataku, menulikan telingaku untuk menjadikan dia telingaku, aku telah membisukan mulutku dan menjadikan dia suaraku, entah ia sadar atau tak sadar tentang itu semua yang aku tahu pasti dia malah memilih untuk pergi pada hari itu. Luka sayatan pun tercipta ketika pisau yang sangat indah berukirkan janji dan bernama cinta ia tarik ketika hatiku masih menggenggam pisau itu dan tak mau melepas. Mungkin baginya setelah hari itu kisah tentang aku dan dia telah berakhir dan dia pun tidak menyadari bahwa dia telah meniupkan garam ke lukaku yang masih basah ketika kabar tentang penggantiku telah dia ikrarkan. Paragraf ini adalah untuk dia. Paragraf ini adalah salah satu bau busuk yang keluar dari sampah ini. Tapi dia takkan pernah khawatir karna dia telah membuang sampah ini pada tempatnya.
Dia yang lain adalah cerita yang berbeda tapi mempunyai alur yang sama dan akhir yang sama hanya dengan durasi yang berbeda. Dia yang lain telah membuatku mengambil keputusan mencongkel luka lama untuk menanam namanya. Dan segala tingkah lakunya yang manja dan menyenangkan membuatnya tumbuh subur dan cepat di hati ini. Akar tunggangnya menancap dalam dan semakin dalam. Daun daunnya yang lebat meneduhkan hatiku. Namun pada akhirnya pun sama, ketika musim begitu kering daun-daunnya pun mulai kering dan dia pun tak ingin lagi tumbuh di hatiku. Pada suatu waktu, dia memelukku, dia menciumku tetapi ternyata dia memintaku untuk mencabut pohon yang akarnya tertancap dalam. Dengan segala keharusan, tanpa obat bius akupun mencabutnya dari detikku, menitku, jamku, hariku. Setelah kami berakhir ternyata angin tak menerbangkan dia jauh. Dia jatuh di sana dan tumbuh di sana, tak jauh, tak lebih jauh dari mata memandang. Aku dapat melihatnya tumbuh subur di sana. Aku dapat melihatnya padahal jika boleh memilih aku tak ingin melihatnya. Paragraf ini adalah untuk dia yang lain. Paragraf ini adalah salah satu noda kotor dari sampah ini. Tapi dia yang lain takkan pernah khawatir karna dia yang lain telah membuang sampah ini pada tempatnya.
Dia yang ketiga adalah kisah yang tak mampu dikisahkan. Huruf A-Z tak mampu kurangkai untuk mewakili bagaimana kisah bermula dan bagaimana berakhir. Semua karena ketidaksadaranku pada waktu cinta datang dan waktu cinta pergi. Hingga akhirnya aku merasakan kehilangan yang sama. Pada akhirnya aku melangkahkan kakiku pada tempatku kembali, tempat dimana sampah dibuang.
Bir aku tenggak setelah puas menarik garis lurus antara tulisan buanglah sampah pada tempatnya yang tertera di hadapanku dengan kehidupanku yang telah lalu. Aku adalah sampah tapi akupun juga pernah mempunyai sampah yang telah kubuang. Sampah akan selalu ada setelah kita menikmati sesuatu dan sampah akan selalu kita buang tanpa sentimentil apapun. Mencintai seseorang lalu menjadikan seseorang itu sampah atau dicintai lalu dijadikan sampah.