Kisah Parta
Parta namanya. Ia adalah seorang guru yang terkenal sangat disiplin. Parta
menjunnjung tinggi hukum dimanapun ia berada, karna sebuah keyakinan hidup akan
lebih baik jika semua orang menaati hukum, maka ia pun memulai dari dirinya
sendiri terlebih dahulu. Keyakinannya itu muncul setelah peristiwa kehilangan
ayahnya waktu ia SMP. Ayahnya meninggal pada kecelakaan lalu lintas karna
ayahnya nekad menerobos lampu merah. Ia sangat terpukul dan menjadikan
peristiwa itu sebuah pelajaran berharga baginya. Sejak kejadian itu, Parta berjanji pada
dirinya sendiri untuk menaati peraturan apapun, dia yakin dengan menaati
peraturan hidup akan lebih baik dan aman. Keyakinannya pun tak pernah luntur sampai
ia dewasa dan berkeluarga.
Pada
suatu siang yang panas di kantor guru sekolah tempat Parta mengajar. Parta sedang sibuk
mengkoreksi tugas-tugas siswanya didatangi oleh Pak Tarman, kepala sekolah SD
tersebut.
“Pak Parta ini ada pembagian uang lelah, ini
bagian bapak.” Kata Pak Tarman dengan nada suara yang pelan hampir berbisik,
sambil menyodorkan amplop.
“Pak Tarman, saya tahu ini bukan hak saya, juga bukan hak bapak, ini melanggar hukum
pak,” kata Parta dengan nada tegas
sambil menyodorkan kembali amplop tersebut.
“Oalah pak...” Kata Pak Tarman sambil kembali menyodorkan amplop.
“Pak, saya tidak akan menerima uang ini dengan
alasan apapun, dan tanpa mengurangi rasa hormat kepada bapak, saya akan
melaporkan hal ini kepada penegak hukum jika hal semacam ini tetap dilakukan.” Kata Parta dengan tegas dan tenang. Wajah
Tarman menjadi kecut dan takut. Kemudian Parta meninggalkan Tarman dan menuju
ke Mushola untuk menunaikan sholat.
Setelah menunaikan Sholat Parta panjatkan doa pada
Tuhan, dia meminta perlindungan pada Tuhan agar dijauhkan dari larangan-Nya dan
memohon kekuatan padaNya untuk mengadapi berbagai godaan seperti yang baru saja
ia alami. Di tengah doanya tiba-tiba ia teringat sebuah malam, kejadian pertengkaran dengan Larsi istrinya di
rumahnya.
“Mas, coba lihat tetangga kita Pak Agus, dia guru
seperti kamu mas, tapi dia lebih kaya dari kamu mas, Pak Agus bisa beli mobil.”
“Mungkin Pak Agus punya usaha lain dek.”
“Bukan karna Pak Agus punya usaha lain tapi karna
Pak Agus luwes mas.”
“Luwes maksudmu?”
“Dia luwes, tidak seperti kamu mas sok suci !!”
“Maksud kamu?”
“Iya,,apa salahnya sih ngambil keuntungan kecil
kalo ada proyek disekolahan mas”
“Oooh,,jadi yang kamu maksud luwes itu seperti
itu. Itu bukan luwes, itu melanggar hukum !!”
“Apakah mati to mas kalo melanggar hukum
sekali-kali, toh itu buat kebaikan keluarga !!”
“Kebaikan keluarga katamu?? Aku lebih baik mati
daripada menyaksikan keluargaku kuberi makan dengan uang haram !!
“TEEEEEEEENGGGG…….TTEEEEEEEEEEEENGGGG…..TEEEEEEEEEEEENG”
Suara bel tiga kali tanda jam istirahat habis
menyadarkan Parta dari lamunanya. Kata istigfar pun segera terucap berkali-kali
dari mulutnya sesaat setelah ia tersadar dari lamunan dan kemudian ia usapkan kedua tangannya pada wajah
sebagai penutup dialognya dengan Tuhan siang itu lalu bergegas menuju ke kelas
untuk mengajar, menunaikan kewajibannya sebagai guru.
Tak pernah Parta mampu membuktikan pada orang
lain bahkan istrinya tentang apa yang ia yakini adalah kehidupan yang paling
baik. Dimana kita hidup akan selalu ada peraturan yang mencoba menjadikan
kehidupan lebih baik. Parta lebih memilih diam dan memberi contoh dengan laku
dari pada ajakan lisan (dia tidak mau disebut nabi yang berkoar-koar di padang
pasir).
Malam dingin di jalanan yang sepi, hanya ada
beberapa kendaraan yang lewat. Orang sering berkata : pada malam hari seperti itu
peraturan lalu lintas sudah tidur, lampu-lampu lalu lintas memang masih menyala,
tetapi nyalanya hanya bagaikan igauan dalam tidur. Ya, tak akan ada orang yang
peduli pada igauan, takkan ada yang peduli pada nyala merah, kuning ataupun
hijau. Tetapi tidak dengan Parta. Dimana saja dan kapan saja (entah pagi,
siang, atau malam) peraturan tak akan dia langgar.
Malam itu, Parta berboncengan dengan istrinya
dengan sepeda motor tuanya yang masih komplit tak ada yang kurang sejak dibeli
dari toko. Mereka baru saja pulang dari hajatan di tempat saudaranya. Karena
masih saudara, mereka baru pulang setelah membantu beres-beres usai acara
hajatan. Dalam perjalanan pulang mereka, jalanan sangat sepi, hanya ada
beberapa kendaraan. Di depan mereka, terlihat lampu lalu lintas menyala merah.
Parman mengurangi laju kendaraannya bersiap untuk berhenti.
Di dalam bus malam antar kota yang melaju cepat
terdapat si Kardi sang sopir bus ditemani
Bejo keneknya dan ada beberapa penumpang yang sudah terlelap.
“ Ngantuk Kar?? Cari warung, ngopi aja dulu,,” kata Bejo karna mengamati Kardi yang menguap
berkali-kali.
“Gak usah, nyetir sambil tidur aja aku bisa,
hehehe,”kata Kardi sambil nyengir.
“Beneran ??”,
tanya Bejo lagi.
“Iya !!! Kayak baru kemarin aja kamu jadi kenekku
jo…jo..”, ucap Kardi sedikit kesal dan langsung menambah
kecepatannya.
Bus malam itu menikung dengan cepat dan di depan
terlihat lampu lalu lintas menyala merah. Tanpa mengurangi kecepatan Bus terus
melaju, karena malam yang sepi Kardi pun tak peduli, dia bermaksud menerjang
lampu merah dan ia yakin motor di depannya pasti juga akan menerjang lampu
merah.
“ Udah pak langsung aja, gak usah berhenti, udah
malam gini “ kata istri Parta sambil
menepuk punngung Parta
Parta mengerem motornya, “ apa kamu gak ingat kejadian meninggalnya bapak
juga karna…….” tiba terdengar bunyi klakson bus dan dencitan
suara rem dari belakang Parta.
“ Aaaaaaaaaaaaaa !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” terdengar suara jeritan yang kemudian terhenti
saat terdengar suara benturan yang keras. “Bruuuuuuaaaakkkkkkk !!!!!!!!”
Parta terpelanting, Istri Parta terseret bus dan
baru terhenti setelah 10 meter.Setelah terpelanting Parta masih bisa melihat
istrinya yang tak berdaya dengan darah di sekujur tubuhnya. Pikiran Parta
melayang, muncul memori beberapa kejadian, kecelakaan ayahnya bertahun-tahun
yang lalu, kemudian disusul memori saat Parta bertengkar dengan istrinya karna mempertahankan
ideologinya dan muncul juga di angan setengah sadarnya beberapa kejadian saat
Parta bersikukuh dengan pendiriannya yang tidak akan melanggar peraturan atau
hukum.
Dalam keadaan setengah sadar dan pandangannya
yang tertuju ke istrinya yang mulai mengabur terdengar suara-suara bergantian
yang berada entah di otak, hati atau telinganya. Tetapi suara itu sangatlah
jelas “Pak, jamane jaman edan yen
ra edan ora keduman………..”, “Apakah
mati to mas kalo melanggar hukum sekali-kali, toh itu buat kebaikan keluarga !!” Suara Pak Tarman dan istrinya terus terdengar
bersahut-sahutan dan akhirnya semua menjadi gelap.
Polisi, petugas medis, wartawan dan warga segera
berdatangan di perempatan kejadian naas
tersebut beberapa menit kemudian. Terlihat kesibukan yang bermacam-macam di
tempat tersebut. Lampu lalu lintas masih tetap berdiri tegak dan masih menyala
merah…kuning….hijau…kuning…merah…dan
seterusnya. Karna ia diciptakan hanya untuk menyala merah yang berarti berhenti, kuning yang artinya hati-hati, dan
hijau adalah jalan dan tidak diciptakan untuk berteriak marah ketika ada
pengemudi yang tak mempedulikanya, tidak diprogram untuk berterima kasih kepada
pengemudi yang taat padanya, dan tentu saja ia tidak bisa berduka atau menangis
melihat Parta yang mungkin orang terakhir di negara ini yang menjunjung tinggi hokum,
mati di depannya, atau bisa dikatakan karna menaatinya (mungkin kisah Parta
akan berbeda, kalau ia memilih menerobos lampu merah). Hanya merah, kuning, hijau, kuning, merah, kuning,
dan seterusnya.
Biodata
Penulis
Nama : Idham Ardi Nurcahyo
TTL : Sukoharjo, 11 Mei 1991
Alamat : Pabrik rt01/02, Wirun, Mojolaban,
Sukoharjo
HP : 081904516818
E-Mail : i_182_damn@yahoo.com
Pendidikan : sedang menempuh S1 Sastra Indonesia
di Universitas Sebelas Maret
Organisasi : aktif di Kelompok Kerja Teater Tesa